- / / : 081284826829

Fenomena Terjadinya Krisis Air: Antara Penafsiran dan Belajar Kepada Air

Oleh: ARDA DINATA

TERJADINYA krisis air, jauh-jauh hari telah diprediksikan oleh para ahli lingkungan hidup. Yakni pada beberapa daerah akan terjadi kekurangan air (kekeringan) di musim kemarau dan terjadi banjir pada musim hujan, bila kondisi lingkungan sebagai penyimpan air tidak dikelola dengan baik dan bijaksana.

Lebih dari itu, sudahkah kita memaknai betul atas keberadaan air di bumi ini? Bukankah, bumi diciptakan dari air sehingga dapat hidup. Adanya air menyebabkan tumbuhan subur, hewan berkembang biak, dan manusia dapat melangsungkan hidupnya. Dalam bahasa Anton Minardi Al-Faruqi (2002), sudah fitrahnya manusia hidupnya menjadi susah apabila kekurangan air. Manusia asalnya dari air. Lahir dari air, sehari-hari makan dan minum dari air, bersuci dengan air, mandi dengan air, bercocok tanam perlu air, orang meninggalpun menggunakan air.


Dari sini, harusnya kita mampu menafsirkan kondisi air secara bijak. Artinya kondisi air tersebut akan dapat bertahan/lestari manakala manusianya (yang diciptakan sebagai khalifah di bumi) dapat memelihara dan melestarikannya secara baik dan benar. Namun, bila hal itu tidak dilakukan maka akibatnya akan imbas terhadap manusia itu sendiri, seperti kekurangan air dan kebanjiran. Arti lainnya adalah kondisi kelebihan dan kekurangan air itu akan sama-sama memiliki dampak (berbahaya) terhadap manusia.

Padahal, seperti diungkap Al-Faruqi, Allah SWT memberikannya (baca: air) dengan gratis asalkan saja beriman kepada-Nya. Lihatlah ke sekeliling kita, pasti di sana terdapat air. Permasalahannya air itu sekarang sudah kotor, bau, penuh limbah dan beracun. Kenapa demikian? Karena ulah manusia sendiri yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan air telah ikhlas beserah diri kepada Pencipta-Nya, dan ridha untuk dipergunakan oleh manusia. Hasilnya air itu juga akan siap menjadi rahmat seperti pada zaman keemasan Islam atau adzab seperti pada zaman Nuh AS. bagi manusia, sangat tergantung pada penggunaannya.

Dalam konteks kekinian, kita melihat penggunaan air tanah di Bandung saja cukup memprihatinkan. Salah satunya adalah hampir 90% air tanah di Kota Bandung digunakan untuk keperluan industri serta hotel, termasuk mal dan perkantoran, sehingga kondisi air tanah di beberapa tempat kini mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Menurut hasil penelitian, kandungan air tanah berupa air tanah tertekan dan air tanah bebas di cekungan Bandung (Soreang) pada tahun 2000 masing-masing sebanyak 117 juta m3 per tahun dan 795 juta m3 per tahun. Menurut pantauan yang dilakukan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan (TLGKP), setiap tahun rata-rata penurunan permukaan air tanah mencapai 1-15 m, dan Cimahi, Cijerah, Cibereum, Sayati, Rancaekek merupakan kawasan yang sudah krisis air. “Sejak 1978 hingga 2000 total penurunan air tanah di Kota Bandung mencapai 50 – 80 meter. Di Cimahi Selatan yang menjadi kawasan industri, penurunan permukaan air tanah mencapai 100 meter,” kata Direktur TLGKP Yousana Siagian. (Media Indonesia, 7/7/03).

Dengan demikian, kondisi cekungan Bandung termasuk dalam grade satu bersama-sama dengan Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang tingkat penurunan permukaan air tanahnya mencapai rata-rata 15 m per tahun. Grade kedua diduduki oleh Denpasar, Medan dan Cilegon, penurunan permukaan air tanah kurang dari 15 m per tahun.

Penyakit bawaan air

Sebagian besar (71%) dari permukaan bumi ini tertutup oleh air. Air merupakan sumber daya yang mutlak ada bagi kehidupan. Begitupun tubuh manusia 70% terdiri atas air. Walau demikian, kita tentu tidak berlaku semena-mena dalam menggunakan air, karena kondisi kekurangan dan kelebihan air keduanya sama-sama berakibat fatal terhadap kesehatan manusia. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa di dalam air itu terdapat berbagai penyebab suatu penyakit.

Menurut Juli Soemirat Slamet yang mengutip dari Bank Dunia (1989), peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat bermacam-macam, yaitu: Pertama, air sebagai penyebar mikroba patogen. Penyakit menular yang disebabkan oleh air secara langsung di antara masyarakat seringkali dinyatakan sebagai penyakit bawaan air (water borne diseases). Penyakit ini hanya dapat menyebar, apabila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air ini banyak macamnya. Mulai dari virus, bakteri, protozoa, metazoa. Beberapa contoh penyakit “water borne” yang banyak didapat di Indonesia adalah cholera, thypus abdominalis, hepatitis A, poliomyelitis, dan dysentrie amoeba.

Kedua, air sebagai sarang vektor penyakit. Air dapat berperan sebagai sarang insekta yang menyebarkan penyakit pada masyarakat. Insekta ini disebut sebagai vektor penyakit. Vektor yang bersarang di air dan penting di Indonesia, pada umumnya adalah nyamuk dari berbagai genus/spesies. Penyakitnya antara lain filariasis, demam berdarah, dan malaria.

Ketiga, penyakit yang disebabkan kurangnya penyediaan air bersih. Kurangnya air bersih, khususnya untuk menjaga kebersihan diri, dapat menimbulkan berbagai penyakit kulit dan mata. Hal ini terjadi, karena bakteri yang selalu ada pada kulit dan mata mempunyai kesempatan untuk berkembang. Penyakit yang tergolong dalam kelompok ini adalah penyakit trachoma, segala macam penyakit kulit yang disebabkan jamur, dan bakteri. Juga termasuk di sini penyakit scabies yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei, sejenis tungau.

Keempat, air sebagai sarang hospes sementara penyakit. Penyakit yang hospes sementaranya ada di air dan terpenting adalah penyakit cacing schistosomiasis dan dracontiasis.

Sementara itu, penyakit tidak menular yang dapat disebarkan lewat air banyak sekali, tergantung penyebabnya. Penyebab penyakit ini dapat dikelompokkan sebagai zat-zat kimia dan zat-zat fisis. Penyakit yang disebabkan zat kimia banyak sekali ragamnya. Beberapa kejadian epidemis yang pernah dilaporkan, antara lain wabah yang disebabkan keracunan air raksa, cadmium, dan cobalt. (George L. Waldbott; 1973).

Belajar dari Kanada

Berdasarkan uraian di atas, maka sudah sepatutnya kita harus mengelola air secara benar dan berkelanjutan. Bukanya memperlakukan air seperti sekarang, yaitu suatu kondisi yang paradoks, di mana air yang begitu diminati oleh makhluk hidup (termasuk manusia), tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya dan layak.

Kalau kita kaji dan teliti secara seksama, krisis air dewasa ini terjadi selain disebabkan pertambahan jumlah penduduk, juga karena adanya degradasi lingkungan akibat pembabatan hutan yang dilakukan di daerah aliran sungai (DAS). Seperti diberitakan Pikiran Rakyat (27/7/03), tahun 2002 lalu, kerusakan hutan di Jawa Barat fungsinya sebagai kawasan lindung mencapai 474.000 Ha. Sehingga penulis memiliki keyakinan, akibatnya kawasan ini kehilangan kemampuan daya simpan air di musim kemarau.

Salah satu implikasi terjadinya perubahan lingkungan (kerusakan lingkungan) ini, dijelaskan Homer-Dixon, dkk. (1993), dapat disebabkan oleh kegiatan manusia dalam tiga cara. (1) Kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumberdaya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Dikatakan bahwa manusia hidup lebih banyak mengorbankan sumberdaya alam daripada untuk kepentingan sumberdaya tersebut.

(2) Penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Dengan bertambahnya penduduk, tanah dan air yang jumlahnya tetap sama sudah barang tentu dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Hal ini berarti jumlah pemakaian tanah dan air per orang semakin berkurang.

(3) Akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak kepemilikan yang terkonsentrasi kepada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain.

Atas dasar itu, maka dalam mengantisipasi krisis air ini tidak ada salahnya kita belajar dari prinsip keberlanjutan Canadian Water Resource Association untuk manajemen pengelolaan air di Kanada (Mitchell dan Shrubsole, 1994:5), yaitu: Pertama, menerapkan pengelolaan terpadu sumber daya air dengan mengaitkan kualitas, kuantitas dan pengelolaan air dari sumber lain; mengenali sistem hidrologi, ekologi, sosial dan institusi; mengenali pentingnya batas-batas akuifer dan daerah tangkapan air.

Kedua, mendorong pelestarian air dan perlindungan kualitas air dengan mengenali nilai dan batas sumber daya air, dan biaya untuk menyediakan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai; menyampaikan nilai konsumtif dan non-konsumtif dari air pada manusia dan spesies lain; menyeimbangkan pendidikan, tekanan pasar dan sistem aturan untuk menyadarkan pihak yang mendapat keuntungan agar bertanggung jawab membayar pemakaian sumbernya.

Ketiga, mengatasi isu-isu pengelolaan air dengan melakukan perencanaan, monitoring dan penelitian; menyediakan informasi multi disiplin untuk pengambilan keputusan; mendorong diadakannya konsultasi aktif dan partisipasi seluruh anggota masyarakat; memakai negoisasi dan mediasi untuk mendapatkan kesepakatan; melakukan komunikasi terbuka, pendidikan dan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi.

Belajarlah kepada air

Keberadaan belajar merupakan hal yang penting dalam menggapai kelangsungan hidup seseorang. Demikian pula halnya dengan fenomena terjadinya krisis air ini, tentu kita harus mampu melakukan kegiatan “belajar”, sehingga kita tidak hanya mampu dalam bagaimana mengelola air itu secara baik dan bermanfaat. Lebih dari itu, kita harus menyadari kalau air merupakan cipataan Allah yang mesti “dibaca”, karena segala cipataan-Nya di bumi ini mengandung banyak pelajaran bagi manusia. Untuk itu marilah kita belajar kepada air dan tidak semata-mata cukup dengan memanfaatkannya saja.

Melalui karakter yang dimiliki air, mestinya tiap manusia yang menggunakannya akan sejalan dengan kepadaian dalam mengelolanya. Mengapa demikian? Paling tidak menurut Al-Faruqi (2002), hal itu didasarkan atas beberapa ibroh yang dimilikinya. Pertama, seperti air mengalir, manusiapun berjalanlah sesuai fitrahnya. Pada saat ada sandungan batu atau apa saja, air akan berputar dan apabila datang hambatan yang lebih besar lagi dia akan berkumpul dan bertambah banyak sehingga batu itu tenggelam dan terbawa arus olehnya. Begitu juga manusia pada saat datang rintangan carilah jalan keluar, tetapi apabila halangan jauh lebih besar maka kumpulkanlah kekuatan untuk mengancurkannya.

Kedua, semakin miring tempat air mengalir, maka semakin deras arusnya. Posisi sangat menentukan untuk menang atau kalahnya kebenaran atas kebatilan. Tambah tinggi posisi kita secara kualitas maupun kedudukan kita di mata Allah SWT dan manusia, maka akan semakin mudah kita untuk meluncurkan arus kebenaran untuk menang.

Ketiga, jumlah air yang besar apabila di-manage dengan benar akan mendatangkan kekuatan yang luar biasa. Manusia yang di-manage dengan bimbingan Ilahi pasti akan mendatangkan kekuatan bagi kedamaian dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.

Keempat, sesuai dengan sifatnya air dapat berubah wujud, walaupun dzatnya tetap air. Manusia dalam menjalankan hidupnya boleh jadi dalam bersiasah dapat berpenampilan berbagai peran tetapi harus tetap esensinya adalah wujudnya khilafah Allah SWT di bumi.

Kelima, mata air mengalirkan air yang suci bersih jauh menuju samudera, di jalan pasti banyak muatan yang ikut larut ke dalamnya dan apabila kita tidak ekstra hati-hati menjaga kesucian dan kebersihannya, maka sangat mungkin tidak hanya pasir serta tanah yang ikut larut. Tapi, kotoran dan racun pun sangat mungkin ikut di dalamnya. Untuk itu, kita mestilah menjaga kehidupan itu supaya senantiasa sesuai dengan sumbernya.

Akhirnya semoga kita mampu mengambil pelajaran dari realitas alam yang terjadi. Sepatutnya pula kita tidak hanya mampu menafsirkan atas fenomena terjadinya krisis air saat ini. Tapi, lebih dari itu kita mampu belajar kepada air dalam menapaki kehidupan ini agar berperilaku bijak pada alam. Wallahu’alam.***

Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan/AKL Kutamaya dan pendiri Majelis Inspirasi Alquran & Realitas Alam (MIQRA), tinggal di Bandung.

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.

WWW.ARDADINATA.COM