- / / : 081284826829

Musibah Mina dan Hakikat Bencana Bagi Manusia

Oleh: ARDA DINATA


SEDIKITNYA 244 jemaah haji meninggal karena terinjak dan ratusan lainnya cedera setelah terjadi saling dorong dan berdesakan saat melempar jumrah Aqabah, Minggu (1/2). Menteri Haji Arab Saudi, Iyad Madani, dalam konfrensi persnya mengatakan, para jamaah haji mulai berdesakan sekira pukul 9.00 waktu setempat dan berakhir lebih kurang selama 27 menit. (PR, 2/2).



Lebih jauh diberitakan harian PR, musibah Mina yang terjadi pada musim haji 1424 H, tentunya selain menjadi keprihatinan, juga patut dijadikan bahan renungan dan evaluasi bagi segenap kaum Muslimin, terutama yang sedang beribadah haji maupun yang akan beribadah haji pada musim haji tahun mendatang.

Untuk itulah, calon jemaah haji Indonesia perlu benar-benar memahami pengetahuan dan praktik beribadah haji, khususnya dalam soal melempar jumrah di Mina. Mereka perlu mengetahui secara baik perbedaan antara waktu afdhol dan waktu biasa, serta persoalan sah atau tidaknya kegiatan melempar jumrah di lokasi yang berdesak-desakan tersebut.


Sementara itu, menurut Prof Dr H Ahmad Tafsir, musibah Jamarat Mina tampaknya merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan manakala para jemaah haji menempatkan hawa nafsunya diatas segala-galanya. Betapa tidak, dalam prosesi ritual di Jamarat Mina tersebut, banyak orang yang ingin cepat-cepat selesai, pulang ke pondokan, istirahat, makan-minum dan bersiap-siap untuk acara selanjutnya. Padahal kalau mau bersabar sedikit, menjadikan keikhlasan dan kesabaran sebagai segalanya, insya’ Allah musibah itu dapat terhindarkan.

Senada dengan itu, menurut Aa Gym, seandainya para jemaah haji bersabar, dan tertib, insya’ Allah, akan terhindar dari musibah tersebut. Tapi, yang jelas, semuanya itu sudah diatur oleh Allah SWT. Kita tidak tahu ada apa hikmah dibalik peristiwa tersebut.
Memang, kita sadar bahwa keselamatan dan bencana itu hanya milik Allah. Kalau Dia menghendaki keselamatan atau bencana menimpa diri kita, maka itu merupakan hak perogatif Allah. Kita tidak bisa menghindarinya. Tapi, yang jelas Allah menimpakan keselamatan dan bencana itu dengan sesuatu sebab yang pasti (berdasarkan hukum Allah).

**

BELAKANGAN ini, berbagai cobaan yang cukup berat dari Sang Penguasa Hidup, telah dialami tidak saja oleh para jamaah haji di Mina, tapi juga bangsa Indonesia yang sebagian besar penghuninya adalah Muslim. Musibah demi musibah datang silih berganti. Di mulai dari banjir, kemarau, kekurangan air bersih, kebakaran, pembunuhan, krisis moneter dan krisis ekonomi yang berkepanjagan, dan lainnya.

Bagi makhluk bernama manusia yang diciptakan Allah dengan empat unsur ini (tanah, air, api dan angin), ditambah akal pikiran. Hal itu berarti kita harus introspeksi dan berpikir. Mungkin selama ini, Saya, Anda dan penghuni bumi ini telah lalai dengan aturan-aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Atau barangkali pada diri kita terdapat “hati yang keras”, “kebekuan mata”, keserakahan, dan panjang angan-angan.

Ada empat hal yang menyebabkan terjadinya bencana atau kecelakaan pada diri seseorang. Sebagai mana yang telah disinyalir oleh Nabi Muhammad Saw, “Termasuk bencana atau kecelakaan adalah empat hal: (1) kekerasan hati, (2) kebekuan mata, (3) keserakahan, dan (4) panjang angan-angan”.

Pertama, hati yang keras. Mempunyai makna, hati kita sudah tidak memperdulikan lagi nasehat-nasehat yang benar. Bahkan, ia membantah dan melawan sekaligus menunjukkan kesombongan diri. Dalam arti lain, hati yang sulit untuk dicerna dan dilumatkan agar larut dalam kebajikan. Begitu kasadnya hati kita, sampai-sampai tidak membekas rasa takut kepada siksaan Allah SWT. “Sejauh-jauh sesuatu hal dari Allah adalah hati yang kasad.” (Al-Hadist).

Pada dasarnya, mengerasnya hati seseorang disebabkan oleh lika-liku perbuatan dosa yang dilakukannya secara berkesinambungan, tanpa diselingi dengan upaya tobat, sembah sujud, sungkem kepada Allah SWT. “Barangsiapa yang melakukan perbuatan dosa, maka nampaklah bintik-bintik dalam hatinya, jika ia bertobat maka hilanglah bintik kotoran tersebut. Dan kembali cemerlang hatinya. Dan sebaliknya jika ia enggan bertobat bahkan ditumpuknya dengan dosa yang lain, makin bertambah banyaklah bintik-bintik itu sehingga tertutuplah seluruh hatinya menjadi pekat”. (Al-Hadist). Dalam Alquran bintik-bintik tersebut dinamakan ‘rona’, yaitu daki tebal atau karet yang menghitam, sebentar lagi akan hancur. Karena ketebalannya itulah, hatinya tidak ‘terbuka’ dan menjadi menutup (QS. 83: 14).

Kedua, kebekuan mata. Hakekat dari mata yang beku, bukan dalam artian matanya menjadi beku sehingga tidak dapat melihat sesuatu. Tetapi, mata yang beku di sini berarti buta dari nilai-nilai kebenaran. Walaupun secara lahir matanya dapat membedakan mana miliknya dan mana milik orang lain. Mana yang ‘merah’ dan mana yang ‘putih’, namun ia tidak perduli.

Berawal dari kebekuan mata, sehingga matanya menjadi ‘kering’. Artinya tak ada rasa penderitaan apapun yang sempat meruntuhkan kantong air matanya, sebagai ungkapan rasa iba dan tersentuh terhadap sesuatu peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Karena pribadinya telah dikuasai oleh rasa egois yang terlalu kuat.

Ketiga, keserakahan. Apabila butir-butir keserakahan mulai menempeli pola pikir dan perbuatan kita, ini berarti hidup kita telah dibayangi oleh sesuatu bencana. Bencana cinta dunia, menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepuasan nafsunya dan lain-lain.

Kadang-kadang harta benda yang telah didapatnya selalu dijaga secara berlebihan, sehingga hidupnya selalu dalam keadaan cemas. “Jangan-jangan, jangan-jangan,... (yang bersifat negatif)” selalu mengganggu pikirannya. Di sini terlihat jelas perilaku orang-orang yang serakah itu, bukannya ia menikmati hasil jerih payah itu dan mensyukurinya, tetapi ia malah diperbudak oleh hasil usahanya sendiri.

Orang yang serakah, hidupnya diperbudak oleh nafsu ketamakan yang tidak pernah mengenal kata puas dan tidak akan terpuaskan sebelum tubuhnya dimakan oleh cacing-cacing tanah. “Dan tidaklah keinginan terpuaskan kecuali jika sudah menjadi santapan cacing-cacing tanah”. (Al-Hadist).

Keempat, panjang angan-angan. Angan-angan tidak sama dengan sebuah cita-cita. Kalau angan-angan, ia tumbuh dari seorang yang pemalas. Sedangkan cita-cita itu tumbuh dari jiwa seseorang yang sadar, kreatif, inovatif dan konstruktif. Hidup seorang Muslim memang harus memiliki landasan cita-cita yang jelas dan mulia. Dengan segala kesungguhan, cita-cita tersebut harus kita perjuangkan dan wujudkan dalam bentuk yang nyata. Inilah salah satu motivasi dalam hidup seorang Muslim, bukannya panjang angan-angan dan berkhayal mengharapkan sesuatu secara tiba-tiba.

Hidup adalah gerak. Bergerak berarti maju. Menghadapi dan mengatasi situasi yang tidak pasti seperti saat ini, seharusnya kita bukannya berdiam diri dan berkeluh kesah. Tapi yang harus dilakukan adalah selalu berusaha dan bekerja lebih keras lagi. Kalau kita mampu melakukannya dengan berlari, maka lakukanlah dengan berlari. Apabila kita mampu dengan berjalan, maka lakukanlah dengan berjalan. Jika kita hanya mampu dengan merangkak, maka lakukanlah sesuatu itu dengan merangkak. Tetapi, yang jelas kita jangan berdian diri. Diam berarti bunuh diri.

Sebenarnya Allah SWT mengajarkan kepada kita untuk selalu berpikir dan belajar (membaca). Bukan hanya belajar dan membaca Alquran dan Al-Hadits (tertulis), tetapi juga belajar dari realitas alam beserta isinya. Coba kita perhatikan makhluk yang bernama Semut. Ia penuh produktivitas dalam bekerja, selalu disiplin, saling tegur-sapa, memiliki rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi, dan lain-lain. Mengapa, kita tidak belajar dari mahluk yang satu ini?

Edward De Bono, berpendapat bahwa makhluk yang paling rasional itu bukan manusia, melainkan hewan. Hal ini, didukung pula oleh Syekh Nadim Al Jisr, yang mengatakan, “Manusia itu lebih sedikit ‘ilmunya’ dari hewan.” Fenomena ini, belakangan sering terjadi pada pola pikir manusia Indonesia. Coba saja perhatikan, kadang-kadang keputusan yang katanya dipikirkan secara rasional, tapi pada kenyataannya tidak rasional. Begitu juga, masalah perilaku dan pengetahuan manusia, kita banyak belajar dari perilaku hewan. Hal ini merupakan salah satu bukti barangkali, yang dikatakan Syekh Nadim Al Jisr tersebut.

**

SEMOGA dengan terjadinya musibah di Mina dan beberapa cobaan atau bencana yang menimpa manusia dewasa ini, menyadarkan kita agar selalu berusaha mendekatkan diri kepada Sang Penguasa Hidup dan dapat memetik hikmahnya. Berkait dengan penyebab bencana seperti diungkap di atas (hati yang keras), sebenarnya ada yang jauh lebih parah bahayanya dari hati yang keras (al-qolbu qosi). Yaitu yang dinamakan hati yang lalai (al-qolbul ghofil). Apa yang membedakan antara keduanya?

Kalau hati yang keras berarti hati yang melawan, hati yang menentang, hati yang punya reaksi dan ‘keras’. Jika kekerasan hati bisa diarahkan kepada hal-hal yang positif (baik), maka mereka akan menjadi orang-orang kuat yang gigih mempertahankan keyakinan. Kejadian tersebut, pernah terjadi pada para sahabat Nabi Saw. Awalnya begitu keras hatinya dengan membenci dan memusuhi Islam, namun dengan petunjuk Allah kekerasan dan sifat anti patinya berbalik menjadi sangat positif. Yaitu keras dalam menentang kelaliman dan kemungkaran. Merekalah singa-singa Allah!

Berbeda halnya dengan hati yang lalai. Hatinya menjadi dingin, jumud, beku, acuh tak acuh. Apapun yang didengarnya tidak sampai menyentuh dan tidak punya dampak (bekas) sama sekali. Hatinya telah mati.

Memang, mereka yang memiliki hati yang lalai (mati), tidak akan melawan atau membantah. Benar atau salah, lurus atau bengkok, positif atau negatif. baginya sama saja. Hatinya sudah membeku. Semua macam peringatan atau ancaman Allah SWT, baginya tidak lebih dari angin lalu yang tidak ada artinya. “Ketahuilah! Allah tidak menerima doa dari hati yang lalai”. (Al-Hadist). Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.

WWW.ARDADINATA.COM